Jakarta -Mulai tahun depan, pemerintah melarang ekspor tambang mentah dari Indonesia dengan tujuan untuk mengembangkan industri hilir pertambangan. Apa dampak kebijakan ini bagi PT Freeport Indonesia?

Presiden Direktur Freeport Indonesia Rozik Boedioro Soetjipto mengakui, pihaknya belum siap untuk menghentikan ekspor tambang mentah mulai tahun depan. Bila ini tetap dilakukan, maka 60% produksi tambang Freeport di Papua terancam tidak dikeruk tahun depan.

Dampaknya ada 31 ribu karyawan yang terancam pemutusan hubungan kerja (PHK). “Ini terdiri dari 12.000 tenaga kerja langsung Freeport, lalu 12.000 dari kontraktor-kontraktor, dan 5.000-6.000 dari kontraktor kecil. Jadi ada 31 ribu orang yang berkaitan dengan ini,” ujar Rozik di kantor Freeport, Kuningan, Jakarta, Kamis (12/12/2013).

Selain itu, ujar Rozik, ada studi dari Universitas Indonesia (UI) yang mengatakan ada 100 ribu orang yang bisnisnya berkaitan langsung atau tidak langsung terhadap Freeport, dan berpengaruh terhadap kebijakan larangan ekspor tambang mentah.

“Termasuk rumah makan padang di sekitar tambang Freeport,” ujar Rozik.

Pemerintah Indonesia melarang ekspor tambang mentah tahun depan sebagai amanat UU No 2009 tentang mineral dan batubara. Pemerintah ingin mengembangkan industri smelter atau pemurnian tambang di dalam negeri untuk memberikan nilai tambah bagi industri. Selama ini, Freeport juga sudah melakukan pemurnian tambang lewat smelter di Gresik. Namun kapasitas smelter tersebut hanya bisa menyerap 40% dari total produksi Freeport.

“Sehingga bila aturan (larangan ekspor tambang mentah) diberlakukan, maka 60% produksi tidak diambil. Selain pemberhentian pegawai, kita bisa saja menutup tambang bila ternyata operasi tidak ekonomis,” kata Rozik.